December 01, 2009

U.N Sapah Takut !?!

Lagi mikir-mikir dibawah kedinginan AC didalam ruangan Lab.Komputer SMA Martia Bhakti, tiba-tiba jeng-jeng….KENAPA MA MENOLAK U.N YA??? TANYA KENAPA ????

Sebagai tenaga pengajar dengan mata pelajaran yang tidak di U.N kan gw sih gak masalah kenapa U.N selalu dipermasalahkan oleh banyak pihak terutama oleh para peserta didik dan teman-teman sesama pendidik dan pengajar tentunya.

Gw adalah salah satu orang yang notabene-nya menyetujui U.N *dengan pelbagai ketentuan* itu dilaksanakan dengan range nilai kelulusan, kenapa gw setuju itu pasti dengan alesan-alesan yang sangat mendasar tentunya. Salah satu alesan gw mendukung U.N adalah tercipta penerus bangsa yang benar-benar relevan dan efektif.

Sekedar plesbek di jaman kita *KITAA….Lu aje sendiri yak* SD, SMP maupun SMA dulu masih diberlakukan yang namanya NEM a.K.a Nilai Evaluasi Murni dimana semuanya adalah lulus tetapi dengan range nilai yang ala kadarnya atau dengan nilai yang klimaks *wooww, kata2nya epek kedinginan* a.K.a memuaskan. Jamannya NEM diberlakukan menurut gw para peserta didik saat itu tidak hanya mempunyai hanya sekedar nilai tetapi softskill yang sudah menunjang dari awalnya atau dibentuk dari sekolah.

Lha sedangkan sekarang coba liat sedikit aja tentang peserta-peserta didik, di suruh MOS bawa2 barang berat dikit ngeluh, kalo mau ulangan mesti dikasih tau 1 minggu sebelumnya atau beberapa bulan sebelumnya *lebaaayy ya*, dikasih tugas tinggal COPAS tanpa peng-editan, di marahin buat motivasi ngadu ke ortu, tongkrongin internet cuma buat bales-balesan wall, ngikutin apa yang disebut trend tapi…, dan hal-hal lainnya.

Seandainya di SMA mereka gak dikasih warning buat range kelulusan mereka maka apa kata DUNIA tentang lulusan Indonesia yang bukannya makin meningkat tapi menyurut. Penggunaan U.N sebagai range kelulusan juga memang saat ini harus banyak dibenahi, tidak sedikit kalau memang U.N harus menjadi tolak ukur sebuah bangsa yang akan maju.

SDM untuk para staff pendidik dan pengajar harus dan harus selalu di-Kreasikan oleh Pemda maupun Pusat, tersedianya segala macam hal yang berhubungan dengan fisik sekolah, meratanya segala macam kebutuhan tentang dunia pendidikan. Apabila itu dapat terlaksana maka U.N bukanlah hal yang menakutkan bagi para aparat pendidikan dan pengajar.
Makanya jangan disalahkan para staff pendidik dan pengajar apabila melakukan “kesalahan” pada saat terjadinya “hajatan ujian nasional” tersebut. Lha wong anak-anak didiknya aja untuk ngerjain soal yang sudah berulang kali dikerjakan saja masih tidak bisa. Atau karena takut sekolahnya *terutama swasta* tidak kebagian murid saat PSB nanti apabila persentase kelulusannya kurang dari 100%.

Kenapa sekolah swasta tidak mencontoh sekolah bertaraf internasional?? setau saya ya, Sekolah Pelita Harapan ada juga yang persentase kelulusannya tidak mencapai 100% tapi kok mereka gak takut untuk tidak kebagian siswa ya??

Kalau memang U.N tidak diberlakukan maka berdayakan sekolahnya untuk benar-benar murni menaikkan atau akhirnya meluluskan peserta didik yang berkompeten, tidak pada saat penyaringan siswa baru kecolongan, pada saat proses pendidikan juga di maklumi *baca ; rapat kenaikan kelas*, hingga pada saatnya detik-detik kelulusan apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab peserta didik, para pendidik menjadi repot untuk tetap meluluskannya dengan nilai sedikit memuaskan dikarenakan adanya 1-2 bingkisan dari orang tua sang anak.

Akan jadi apa si peserta didik saat terjun di masyarakat nantinya, udah kerjaannya selama bersekolah cuma pacaran, ngikutin acara2 musik di tipi, mau ulangan baru belajar, ngerjain tugas tinggal cari di google, di suruh ngomong dan mengarang mereka g bisa, de el el *walaupun tidak semuanya*

U.N itu bukan menjadi setan yang mesti ditakuti, toh para peserta didik aja paling sering nonton pilem setan gak mutu di 21 or XXI. Yang mesti di takuti adalah apa yang akan dilakukan setelah lulus nanti apabila keahlian yang didapat hanya sebatas bales-balesan wall, copas suatu tulisan, cengeng saat di tegur atasan, dan tidak dapat berkreasi.

Ya, berarti tunggu saja Indonesia 5 tahun kedepan apabila sistem pendidikan yang digunakan masih seperti itu dengan mental peserta didiknya sudah seperti “tempe”.

No comments: